Saturday, 7 July 2018

Akad yang digunakan dalam transaksi keuangan di Bank syariah dan alur skema transaksi keuangan menurut praktek perbankan



Abstrak
Sri Wahyuni, SE


Perkembangan pasar keuangan syariah beberapa tahun terakhir cukup pesat, Walaupun pasar keuangan syariah termasuk elemen baru di indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan semakin banyaknya lembaga keuangan syariah dindonesia, seperti perbankan syariah, assuransi syariah dan reksa dana syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Perkembangan pasar keuangan syariah cukup besar ditandai dengan berdampak terhadap perekonomian masyarakat. Industri perbankan syariah sangat memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian masyarakat. Lembaga keuangan Syariah menyediakan berbagai produk keuangan untuk meningkatkan perekonomian masyarkat dengan meng aplikasikan ketentuan- ketentuan syariah islam, diantaranya akad kredit pembiayaan, reksa dana dan lain sebagainya.

1.  Menurut buku Al-Mu’amalah al-Maliyah al-Mu’ashirah fil Fiqh al-Islamy, tulisan Dr. Muhammad Usman Tsabir, dalam Kartu Kredit banyak pilihan akad yang dapat digunakan, yaitu :
Pertama, akad wakalah : Wakala berasal dari kata Wazan Waka-yaliku- waklan yang berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan tentang wakalah adalah mewakili. [1] Akad Wakala adalah akad mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan suatu kegiatan dimana yang memberikan kuasa yang dimana yang memberi kuasa tidak dalam posisi kegiatan tersebut.[2]
Skema akad wakala
 




Kedua, akad hiwalah: Al- Hiwalah secara bahasa Artinya Al- Intiaq (pindah), di ucapkan, Hala- ‘ainil ‘ ahdi, ( berpindah, berpaling, berbalik dari janji) sedangkan secara istilah, definisi Al hiwalah Menurut ulama hanafiah adalah memindah ( al- Naqlu) penuntututan atau penagihan dari pihak yang berhutang (al- Madin). kepada tanggungan pihak Al- Multazim (yang harus membayar utang dalam hal ini adalah (Al - Muhal ‘alaihi). Berbeda dengan kafalah artinya adalah Al dammu (menggabungkan tanggungan) di dalam penuntutan atau tagihan, bukan An- naqlu (memindahkan) . maka oleh karena itu dengan adanya Al- hiwalah, menurut kesepakatan ulama, pihak yang berutang (dalam hal ini dimakut adalah  al-mmuhil)tidak ditagih lagi.[3]

Skema proses Hiwalah


Keempat akad qardh: Pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau di minta kembali . dalam Literatur Fiqih ash Shahih, Qard dikategorikan dalam aqdtathawwul atau akad yang saling bantu membantu dan bukan transaksi komersial atau dapat juga dikatakan suatu akad pembiayaan kepada nasabah tertentu bahwa nasabah itu wajib mengembalikan dana yang diterima kepada Lembaga Keuangan Syariah (LMS) dan nasabah.[4] 

Skema pembiayaan Qard 






Kelima, akad bay’ bi ajl: Bay Bittaman Ajil Adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati anata bank islam dengan nasabah, dimana bank islam menyediakan semua dana infestasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian proses pembayarannya dilakukan secara menyicil atau angsuran. Jumlah kewajiban yang dibayarkan oleh peminjam adalah atas aharga barang modal yang disepakati.

Skema Akad Bay ajl




Keenam akad ijarah:  Transaksi ijarah dilandasi dengan adanya pemindah manfaat( hak guna),  bukan pemindahan kepemilikan (hak Milik). Pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli. Perbedaan terletak pada objek transaksi barang, sedangkan pada ijarah objek transaksi adalah barang atau jasa. Ijarah di definisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayarkan imbalan tertentu. Menurut Fata DSN Nomor 09/DSN/MUI/VI/2000. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa diikuti pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian Ijarah tidak ada merubah kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna menyewakan kepada penyewa.[5]


Skema akad Ijarah    
 

Jawab :
Para ekonom dan praktisi perbankan mengenai kartu kredit adalah bithoqah al I’timaniyah yang merupakan terjemahan dari bahasa arab dan dalam bahasa inggris credit cards. Definisi kartu kredit secara etimologi diambil dari kata bithaqah (kartu) secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. Sementara kata i’timan secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya.
Adapun kata cards memiliki beberapa arti diantaranya arti yang telah dikenal, yaitu credit cards, small plastic card issued by an banking or building society, allowing the holder to make purchase on credit. (Kartu yang terbuat dari kertas keras, atau plastic yang diterbitkan oleh bank atau pihak lainnya disertai penjelasan khusus kepada pemegangnya). Apabila dilihat dari sisi kredit maka kartu ini diterbitkan untuk memperoleh uang secara tunai maupun fasilitas pinjaman.
Secara terminologis kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti uang tunai, yang sewaktu-waktu dapat ditukarkan.  apa saja yang kita  sebutkan dalam sumber lain pengertian kartu kredit yaitu kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang.[6]
Dari definisi di atas baik secara etimologis maupun terminologis dapat diambil kesimpulan bahwa kartu kredit adalah suatu jenis kartu yang dijadikan sebagai alat pembayaran yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya dan dapat digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperlu an dan barang-barang serta pelayanan tertentu secara hutang.

Akad-akad yang ada dalam Kartu kredit syari’ah
Penggunaan kartu kredit yang semakin meluas memunculkan beberapa persoalan jika ditinjau menurut pandangan fiqh Islam. Permasalahan muncul karena banyaknya pihak yang terlibat dalam transaksi kartu kredit sehingga para fuqaha kesulitan dalam menetapkan jenis dan berapa akad yang tepat digunakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa transaksi kartu kredit hanya menggunakan satu akad saja, sebagian yang lain mengatakan melibat enam akad, yaitu kafalah, wakalah, hawalah, murabahah, qardh dan ijarah).[7]
Pihak Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) berpendapat bahwa status hukum kartu kredit adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi. Perusahaan perbankan dalam hal ini sebagai issuer yang mengeluarkan kartu kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi card holders dalam berbagai transaksi. Dengan demikian, menurut DSN – MUI ada tiga akad yang digunakan dalam transaksi kartu kredit yaitu: kafalah, qardh dan ijarah.
Lebih lanjut, pihak DSN – MUI menyebutkan bahwa para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam muamalah berdasarkan dalil al- Qur’an, Sunnah dan Ijma’ yang didasari pada firman Allah:
                           
dan siapa yang dapat mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku menjamin terhadapnya.” (QS. Yusuf:72).
Kafalah pada dasarnya adalah akad tabarru’ (sukarela/voluntary) yangbernilai ibadah bagi penjamin karena termasuk kerja sama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Akan tetapi hal itu sah-sah saja kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau hibah sebagai ungkapan rasa terimakasihnya. Namun demikian, jika penjamin sendiri yang mensyaratkan imbalan asa (semacam uang iuran administrasi kartu kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, transaksi bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya. Penetapan uang jasa kafalah tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah, yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit tertentu.[8]
a.    Proses dan mekanisme operasional penerapan akad-akad tersebut.
Proses pemberiaan pembiayaan take over yang beralu saat ini menurut Rahmat Wahyudi Hidayat lebih cenderung ada unsur persaingan terhadap bank dalam pemberian kredit dengan atau tanpa memperhatikan kualitas kredit dari bank sebelumnya. Pemberian pembiayaan melalui mekanisme take over oleh perbankan syariah terhadap nasabah umumnya karena faktor prinsip idealisme kesyariahnya dalam bertransaksi sehingga nasabah umumnya karena faktor prinsip idealisme kesyariahan dalam bertransaksi, sehingga nasabah memutuskan untuk memindahkan kreditnya di bank konvensional ke bank syariah. Proses pemberian pembiayaan melalui mekanisme take over ini mengunakan akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Melalui fatwa-fatwa DSN-MUI telah ditetapkan fatwa mengenai pengalihan Hutang (Take over) tertuang dalam fatwa DSN-MUI No : 31/DSN-MUI/VI/2002. Didalam fatwa tersebut terdapat 4 alternatif akad yang digunakan oleh bank syariah yang untuk melakukan akad pembiayaan take over dan keempat alternatif tersebut adalah :
Alternatif 1 : Akad Qardh Bai’wal Murabahah :
a.  Bank Syariah memberikan qardh sesuai fatwa DSN-Mui No. 19/DSN-MUI/vI/2001. Dengan qardh tersebut nasabah melunasi kredit hutangnya. Maka aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
b.  Nasabah menjual aset tersebut kepada bank syariah dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qarh ke pada banknya.
c.   Bank Syariah kemudian menjual aset secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya tersebut dengan pembayaraan secara cicilan.
Alternatif 1 ini hampir mirip dengan bay al’inah, inah secara bahasa adalah pinjaman yaitu membeli sesuatu secara berhutang. Lalu menjualnya kembali dengan harga yang lebih murah,  jual beli disebut al’ inah. Kareana seseorang sebenarnya bukan mengiginkan barang, yang diinginan adalah uang (Pinjaman). Sedangkan menjadi mediatornya adalah ‘ ain (Barang). Jual beli ini adalah suatu helah dan rekayasa untuk mendapatkan pinjaman uang untuk pembayaraan tambahan.  Akad Qardh adalah transaksi non-commersial yaitu pinjaman (Loan) Akad Ba’i adalah jual beli berdasarkan cara mengambil keuntungan (margin) Akad Murabahah adalah akad jual beli dimana ketika penjual menjual barang, ia boleh mengambil keuntungan dengan syarat harus transparan berapa pokok dan margin yang diambil dan berdasarkan kesepakatan. ketiga akad ini bila di hubungkan, yaitu nasabah punya hutang ke bank konvensional, dan hutang tersebut di take over oleh bank syariah dengan membayarkan KPR ke bank konvensional, disini terjadi akad Qardh (yaitu Nasabah berhutang sejumlah harga KPR yang dibayarkan ke bank konvensional). Saat hutang di take over, maka KPR jadi milik Bank Syariah dan kemudian Bank syariah menjual kepada nasabah, disini terjadi akad Ba’i (jual beli) secara Murabahah, dengan keuntungan yang telah disepakati bersama.
Alternatif 2 : Terjadi Akad qardh yaitu saat bank melunasi
a.  Dalam pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh aset tetap, nasabah dapat melakukan akad ijarah dengan bank syariah, sesuai dengan fatwa DSN-MUI No.9 /DSN-MUI/IV/2002.
b.  Apabila diperlukan BankSyariah dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan mengunakan prinsip qarh.
c.   Akad ijarah sebagaimana dimaksud poin a tidak boleh didasarkan jumlah talangan yang diberikan bank syariah kepada nasabah sebagaimana dimaksud poin b
Alternatif ini berbahaya karena mendekati riba, agar tidak termaksud dengan riba, dengan kedua akad yaitu qarh dan ijarah harus terpisah. Karena ada imbalan jasa ijarah, maka besarnya fee tidak boleh didasarkan pada besar nya fee tidak boleh didasarkan pada besar qarh. Alternatif ini mendekati riba karena ditakutkan besaran fee tidak boleh didasarkan pada besar qarh, alternatif ini mendekati riba dikarenakan ditakuti besaran fee untuk imbalan jasa ijarah berdasarkan besar dana qardh yang diterima nasabah. Secara etimilogi ijarah berati sewa upah, jasa, imbalan, secara istilah syariah. Ulama Hanafi mendefinisikan ijarah sebagai transaksi terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan fee penukar manfaat .Ijarah didefinisikan sebagai akad pemindahan hak atas barang atau jasa terhadap pembayaran upah, sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (mikiyah) atas barang itu sendiri, sedangkan dalam fatwa DSN-MUI no 09 /DSN-MUI/VI/2002, ijarah didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa diikuti oleh pemindahan pembayaran BPR itu sendiri adapun dalil tentang akad Ijarah Adalah (Al – Baqarah : 233)
Alternatif ke 3 : Akad Qardh, bay’ dan IMBT (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik) adalah
a.  Bank memberikan qardh kepada nasabah, pada qarh tersebut nasabah melunasi kredit (hutang)nya maka aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
b.  Nasabah menjual aset sebagaimana dimaksud dipoin a kepada bank syariah, dengan hasil penjualan itu nasabah melunasi qarhnya kepada bank.
c.   Bank syariah menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah dengan akad ijarah Muntahiyah bit tamlik.
Alternatif ini menurut saya alternatif ini akan aman, disebut juga akad ijarah yang berakhir dengan pemilikan aset . Pemindahan kepemilikan Asset dalam akad IMBT dilakukan melalui hibah atau hadiah serta dilakukan dengan cara membeli dengan harga yang sesuai dengan sisa cicilan sewa diakhir masa sewa. Fatwa DSN-MUI di formulasikan adalah Jika penyewa (pihak Kedua) Telah menyelesaikan pembayaran ansuran terakhir sewa aset tersebut maka pihak pertama (Muajjir) Menghibahkan asset tersebut kepada pihak kedua (Penyewa), hibah ini bersifat Mu’allaq pada massa yang akan datang. Hukumnya boleh menurut ketentuan Fiqh islam. Alternatif menjual diakhir massa sewa biasanya digunakan bila kemampuan financial musta’jir untuk membayar sewa relatif kecil, sehinga akumulasi sewa yang sudah dibayar pada akhir periode sewa belum mencukupi harga beli barang tersebut, dan margin keuntungan yang diharapkan bank, maka jika penyewa ingin memiliki barang tersebut ia harus membeli barang tersebut diakhir periode, dalam kontrak ini, juga tidak perlu di buat kontrak baru diakhir massa sewa, cukup satu akad diawal kontrak kerja.
Alternatif 4 : Akad hiwalah 
Akad yang menjelaskan berupa pengalihan hutang debitur kepada bank syariah dari salah satu bank konvensional yang sebelumnya membiayaai KPR debitur. Jumlah yang tertera di akad hiwalah sesuai dengan sisa jumlah kewajiban debitur yang harus dilunasi di bank sebelumnya. Jumlah ini dijelaskan nilai hutang yang diambil alih oleh Bank Syariah dari bank sebelumnya. Hawalah adalah Pemindahan hutang dari satu pihak kepada pihak ketiga. Disini nasabah sebagai pihak pertama yang berhutang pada pihak kedua bank (konvensional), dan bank syariah sabagai pihak ketiga. Dengan kata lain hutang nasabah kepada bank konvensional akan dilunasi oleh bank syariah sehingga nasabah sekarang berhutang kepada bank syariah.
Fatwa DSM-MUI adalah :
a. Hawalah bil ujrah (fee) hanya berlaku pada hawalah muthlaqalah (yaitu hawalah dimana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak berpiutang kepada muhal ‘ alaliah ).
b. Dalam Hawalah Muthlaqah, Muhal’alaih boleh menerima ujrah /fee atas ketersediaan dan komitmen untuk membayar hutang muhil.
c.  Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
d. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menujukan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (Akad)
e. Akad dituangkan secara tertulis melalui respondensi atau mengunakan cara-cara komunikasi modern.
f.  Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para pihak terkait.
g. Kedudukan dan Kewajiban para pihak harus dinyatakan dalam akad secara tegas.
h. Bank syariah yang melakukan akad hawalah bil ujrah boleh memberikan sebagian fee hawalah kepada shahibul maal.

b.    Analisislah keenam alternatif akad-akad di atas dalam perspektif syariah, tentukan mana yang lebih tinggi tingkat kesyariahannya. Gunakan dalil-dalil syariah dan ushul fiqh dalam menganalisis alternatif akad-akad tersebut.
Dalam pembiayaan take over banyak sekali alternative hybrid contract di dalamnya berdasarkan fatwa DSN MUI No 31/2002. Antara lain, gabungan akad qardh, bay’ dan Ijarah Muntahiyah bit Tamlik (IMBT) atau murabahah. Jika menggunakan akad murabahah, mirip dengan bay’ al-‘inah, maka seharusnya dihindari. Akad bay’ dalam pembiyaan take over dapat dilakukan di bawah tangan (secara fikih saja, tanpa notaris), karena hanya sebagai bridging of  financing.  Peran notaries hanyalah  ketika akad murabahah berlangsung.

c.    Jika anda sebagai konsultan atau officer bank syariah akad mana yang anda pilih / rekomendasikan dan mengapa ada memilihnya.
Pembiayaan berdasarkan take over adalah satu bentuk pelayanan bank syariah dalam membantu masyarakat mengalihkan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi transaksi yang sesuai dengan syariah berdasarkan permintaan nasabah. Dalam hal ini bank syariah mengambil alih hutang nasabah di bank konvensional dengan cara memberikan jasa hiwalah atau menggunakan qard yang disesuaikan dengan ada tidaknya unsur bunga dalam hutang nasabah kepada bank konvensional.
Dengan melakukan take over/pemindahan kredit dari bank konvensional ke bank syariah, maka nasabah akan terhindar dari resiko fluktuansi bunga dan resiko ketidak pastian. Hal tersebut dikarenakan di bank syariah harga jual sudah ditentukan/disepakati diawal masa pembiyaan, tidak berubah sampai dengan selesainya masa pembiayaan dengan angsuran yang fixed/tetap setiap bulannya.
Namun sebaiknya sebagai Officer bank hendaklah menggunakan Akad Qardh, bay’ dan IMBT (Ijarah Muntahiyah bit Tamlik) dimana Jika penyewa (pihak Kedua) Telah menyelesaikan pembayaran ansuran terakhir sewa aset tersebut maka pihak pertama (Muajjir) Menghibahkan asset tersebut kepada pihak kedua (Penyewa), hibah ini bersifat Mu’allaq pada massa yang akan datang. Hukumnya boleh menurut ketentuan Fiqh islam. Walaupun kebanyakan dari Bank syariah memakai prinsip Akad qardh yang pada akhirnya sama yaitu menghibahkan asset tersebut kepada pihak kedua setelah tercapainya tujuan dan ketentuan yang telah di sepakati dalam akad Qard.
2.      Para ulama Fiqh membagi (mengklasifikasi) bay’ amanah kepada empat macam, yaitu bay’ tauliyah, bay’ murabahah, bay’ mustarsal dan bay’ wadhi’ah (bay’ khasarah). Hampir semua bank-bank Islam saat ini menggunakan bay’ murabahah. Padahal bank-bank Islam sangat mungkin juga menggunakan bay’ mustarsal. Pengertian dari 4 macam klasifikasi dari para ulama fiqh adalah:
Bay’tauliyah
Tauliyah secara bahasa berasal dari kata: walla, yang artinya memberi wewenang. Tauliyah berarti memberi wewenang kepada orang lain untuk memiliki atau menggunakan suatu barang. Secara istilah, jual beli Tauliyah adalah seseorang menjual barang kepada orang lain dengan harga yang sama dengan harga belinya, dan penjual menyampaikan harga belinya kepada pembeli.
Contoh: A membeli motor dengan harga 6 jt. A memberi tahu B bahwa dia membeli motor tersebut seharga 6 jt. Dia tawarkan motornya kepada B dengan harga yang sama, tanpa mengambil keuntungan sedikitpun.
Transaksi ini dimasukkan dalam bai` amanah karena dalam transaksi ini, penjual menyampaikan harga belinya. Hal ini menuntut adanya amanah dari penjual tentang kebenaran informasi yang dia sampaikan. Mengenai hukum dan syarat selengkapnya, bisa dipelajari di pembahasan Tauliyah.
Bay’murabahah
Murabahah diambil dari kata: Ribh, yang artinya untung. Secara istilah bai` Murabahah adalah menjual barang dengan harga kulakan ditambah keuntungan yang disepakati antara kedua belah pihak.
Contoh: A membeli rumah dengan harga 1 M. Datang B mau membeli rumah tersebut. Si A memberi tahu harga dia membeli rumah (1 M) dan bersedia dijual kepada B, jika si B mau memberi keuntungan 10 jt. Setelah sepakat, keduanya bertransaksi.
Para ulama menegaskan bolehnya transaksi murabahah. Namun ulama mazhab malikiyah berpendapat bahwa jual beli ini kurang afdhal. Yang lebih baik adalah tidak disebutkan harga kulakan dan untungnya.
Transaksi murabahah dimasukkan dalam jual beli amanah, karena penjual menyampaikan harga beli (kulakan) barang tersebut. Sehingga penjual dituntut untuk amanah dalam memberikan informasi tentang harga belinya. Mengenai macam-macamnya, syaratnya, dan rincian hukumnya, akan dibahas tersendiri dalam tema: Murabahah.
Bay’mustarsal
Mustarsal artinya dilepas. Sedangkan maksud jual beli mustarsal adalah seseorang penjual mengatakan kepada pembeli: Saya jual barang ini dengan harga pasar atau sebagaimana harga umumnya masyarakat atau dengan harga yang berlaku hari ini atau dengan harga sebagaimana yang akan ditentukan oleh si fulan, dst. Orang yang melakukan transaksi ini tidak mengetahui harga barang dan tidak bisa saling tawar menawar. Para ulama sepakat bahwa jual beli ini sah. Hanya saja mereka berselisih pendapat, apakah pembeli dan penjual memiliki hak khiyar ataukah tidak.

Bay’wadhi’ah
Wadhi`ah secara bahasa artinya kerugian. Bisa juga digunakan untuk menamakan pajak yang diambil oleh pemerintah. Secara istilah, wadhi`ah berarti menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari pada harga beli dan pembeli diberi tahu tentang harga belinya. Sehingga sistem jual beli ini merupakan kebalikan dari jual beli murabahah.
Jual beli wadhi`ah  sering juga dinamakan dengan jual beli muhathah, hathitah, mukhasarah, dan muwadha`ah.
Contoh: A membeli motor seharga 10 jt. Dia memberi tahu B tentang hal ini. Dia tawarkan motornya kepada B dengan harga 8 jt. Sehingga A menanggung kerugian 2 jt.
a.     Perbedaan bay murabahah dengan bay mustarsal
Bay murabahah adalah jual beli barang pda harga asal dengan tembahan keuntungan yanng disepakati. Dalam istilah teknis perbankan syari’ah murabahah ini diartikan sebagai suatu perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Sedangkan Bay mustarsal adalah melakukan transaksi jual beli secara langsung kepada seseorang sesui dengan harga pasar yang berlaku umum.

b.  Berikan alasan mengapa bay mustarsal ini dalam banyak kasus lebih dipilih daripada bay’ murabahah
Karena masyarkat lebih cenderung menggunakan Bay mustarsal ini lebih simpel sesuai dengan kebiasaan sehari- hari.Kemudian penjual tidak perlu menyebutkan berapa harga beli(hargaperolehan/ pokok) suatu barang kepada pembeli. Penjual langsung menjual barang tersebut kepada sipembeli sesuai dengan harga pasar atau harga yang diketahui umum (harga yang berlaku di pasaran) Kemudian menggunakan Bay murabahah cenderung lebih ribet karena penjual harus memeritahukan berapa harga beli/ harga perolehan suatu barang yang akan dia jual kepada pembeli, dan kedua belah pihak harus menentukan keuntungan yang akan di peroleh sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

3.   Saat ini negara-negara muslim dan perusahaan-perusahaan syariah banyak yang menerbitkan sukuk (obligasi syariah). Salah satu bentuk sukuk adalah sukuk Ijarah. Dalam SBSN yang diterbitkan pemerintah, dalam sukuk ijarah, akad yang digunakan adalah akad sale and lease back, yaitu jual dan sewa kembali. Padahal akad tersebut seharusnya sale, and lease and sale back. Sale back adalah akad ketiga yang mesti terjadi (maushufah biz zimmah) sebagai konsekunensi dari baywafa, sehingga asset negara tidak akan tergadaikan. Menurut Kitab Undang-Undang Ekonomi Islam Turki Usmani (1876 M) , yakni Al-Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah pasal 119, bahwa akad sukuk yang terdiri dari 3 akad tersebut dinamakan bay’ istighlal.
a.  Jelaskan proses, flow dan mekanisme operasional sukuk ijarah pada SBSN yang ada saat ini di Indonesia
Sukuk adalah istilah yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk jamak dari kata Sakk’ yang berarti dokumen atau sertifikat[9],  namun sejumlah penulis barat tentang sejarah perdagangan Islam / Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan bahwa kata Sakk merupakan kata dari suara Latin “cheque” atau “check” yang biasanya digunakan pada perbankan kontemporer[10]. Istilah sakk bermula dari tindakan membubuhkan cap tangan oleh seseorang atas suatu dokumen yang mewakili suatu kontrak pembentukan hak, obligasi, dan uang. Dalam konsep modern disebutkan sebagai pengamanan pembiayaan yang memberikan hak atas kekayaan dan tanggungan serta bentuk-bentuk hak milik lainnya.
Sukuk ijarah (obligasi ijarah) adalah obligasi syari’ah yang menggunakan akad ijarah. Ijarah adalah perikatan sewa menyewa yang memberikan hak kepada muaajir (yang menyewakan) menerima upah dari mustajir (penyewa) atas manfaat yang diperolehnya. Artinya pihak yang menyewakan memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan obyek yang disewakankan, namun dengan kewajiban penyewa harus memberikan imbalan sesuai dengan hasil  kesepakatan.
Dalam akad ijarah, pada prinsipnya terjadi pemindahan manfaat yang bersifat sementara, namun tidak disertai adanya pemindahan kepemilikan. Berdasarkan fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004, ketentuan obligasi syari’ah ijarah sebagai  berikut:
a)    Akad yang digunakan dalam obligasi syari’ah ijarah adalah ijarah dengan                           memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No.9/DSN-MUI/IV/2000 tentang                     pembiayaan ijarah, terutama mengenai  rukun dan syarat akad.
b)   Sesuai yang menjadi obyek ijarah harus berupa manfaat yang diperbolehkan.
c)  Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syari’ah                      dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI No.20/DSNMUI/IX/2000                    tentang pedoman pelaksanaan investasi untuk reksadana syari’ah dan No.40/DSN-                MUI/X/2003 tentang pasar modal dan pedoman umum penerapan prinsip syari’ah           dibidang pasar modal .
d)   Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI                 baik asset yang telah ada maupun asset yang akan diadakan untuk disewakan.
e)  Pemegang OSI sebagai pemilik asset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam                        menyewakan (ijarah) asset atau manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain           dilakukan melalui emiten sebagai wakil .
f)   Emiten yang bertindak sebagai wakil dari pemegang OSI dapat menyewa untuk                 dirinya sendiri atau menyewakan kepada pihak lain.
g)   Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka emiten               wajib membayar sewa dalam jumlah dan waktu yang disepakati sebagai imbalan              (iwadh ma’lum) sebagai mana jika penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
h)  Pengawasan aspek syari’ah dilakukan oleh DSN atau tim ahli syari’ah yang                         ditunjuk oleh DSN-MUI, sejak proses emisi  obligasi syari’ah ijarah dimulai .
i)  Kepemilikan obligasi syari’ah ijarah dapat dialihkan kepada pihak lain, selama       disepakati dalam akad.
Secara teknis, obligasi syari’ah ijarah dapat dilakukan dengan dua cara:
a)    Emiten dapat bertindak sebagai wakil investor yang berkedudukan sebagai                        penyewa (musta’jir), sedangkan property owner (pemilik properti) sebagai pihak                    yang menyewakan (mu’ji r).
b) Setelah investor memperoleh hak sewa, maka investor menyewakan kembali                       obyek sewa kepada emiten.

Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang atas jasa. Sukuk ijarah diterbitkan berdasarkan akad ijarah, diklasifikasikan menjadi sukuk kepemilikan asset berwujud yang disewakan, sukuk kepemilikan manfaat, sukuk kepemilikan jasa. Sukuk kepemilikan asset berwujud yang disewakan, diterbitkan oleh pemilik asset yang disewakan atau yang akan disewakan dengan tujuan untuk menjual asset demi memperoleh dana, sehingga pemegang sukuk menjadi pemilik asset. Sedangkan tujuan penerbitan sukuk kepemilikan manfaat, yaitu menyewakan asset / manfaat asset demi uang sewa, pemegang sukuk menjadi pemilik manfaat dari asset. Penerbitan sukuk kepemilikan jasa bertujuan menyediakan jasa melalui penyedia jasa dan mendapatkan fee, sehingga pemegang sukuk menjadi pemilik jasa[11].
  
Skema sukuk Ijarah





b. Jelaskan dan analisis-lah mengapa penamaan sale and lease back kurang tepat untuk sukuk ijarah. 

Sale and lease back teknik jual dan sewa kembali. Suatu aset dapat di beli kepada suatu pihak dan disewakan kembali kepada pihak tersebut. Dalam kasus ini kontrak ijarah tidak diputuskan kecuali lembaga keuangan syariah telah memiliki aset trsebut. Aset- aset yabg disewakan dengan teknik ini dapat dijual kembali pada pemilik pertama.


Dilihat dari mekanisme pelaksanaan Sukuk Negara Ijarah Sale and Lease Back di atas terdapat beberapa kritik atau perdebatan tentang kebolehannya, diantaranya kritik atas kerumitan mekanisme sukuk ijarah yang memungkinkan adanya celah atau dosa atau pelanggaran yang disampaikan oleh Chandra Natadiputra dalam bukunya yang berjudul 101 Ekonomi Islam. Kritiknya ini berdasarkan salah satu kaidah fiqih yang berbunyi[12] : “Yang dapat dijadikan pegangan akad adalah maksud dan makna, bukan lafadz dan bentuk perkataan”.
Secara filosofis sesuatu yang rumit sebenarnay sederhana sesuatu yang sederhana dibuat rumit biasanya mengandung cela atau dosa atau pelanggaran. Obligasi ini tujuan sebenarnya secara sederhana adalah pemerintah meminjam dana masyarakat, nanti sekian tahun lagi dana itu dikembalikan ke masyarakat, plus bunganya. Karena komponene bunga itu tidak boleh didalam ekonomi islam.
Selain kritikan tersebut, dalam struktur sukuk ijarah sale and lease back ini masih menjadi isu penting yang sering dibahas oleh pakar ekonomi syariah karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena hal ini merupakan bentuk lain daripada bai’ al wafa atau hampir sama dengan jenis bai’istighlal dan bai’ al ‘inah yang masih diperdebatkan kebolehannya oleh para ulama fiqh.
Berdasarkan kepada kumpulan fatwa dari majma’fiqh Islami (Markas Riset Fiqh Islam) yang berpusat di Jeddah yang dikeluarkan pada tahun 1992M menyatakan bahwa mayoritas ulama tidak membolehkan jual beli dalam bentuk ini, Sedangkan minoritas ulama membolehkannya, sehingga hasil keputusan akhir dari sidang fatwa tersebut memutuskan tidak boleh bermuamalah dengan bentuk jual seperti ini. Adapaun pokok masalah yang diperdebatkan tentang kebolehan jual beli jenis ini karena dalam kontrak ijarah sale and lease back berlaku dimana aset yang telah dijual oleh pemiliknya kemudian disewakan kembali kepada penjual tersebut, sehingga jenis ini dianggap menyerupai salah satu bentuk bai’al’inah yang dilarang dalam hadits Rasulullah,Saw dimana penjual dan pemberi sewa membuat syarat sebelum terjadi akad dengan janji pembelian kembali aset pada harga yang di setujui oleh penjual asal.
c.   Pengertian konsep bay’ istighlal menurut Al-Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dan bagaimana penerapannya dalam SBSN (Surat Berharga Syariah Negara).Gunakan kata kunci bay’ wafa dalam menganalisis.
Menurut bahasa Arab, al bay’ berati jual beli, dan al wafa’ dapat diartikan membayar hutang, pelunasan hutang, menepati janji, setia serta tak menyalahi janji. Nama lain dari bay’ al wafa’ adalah bay ‘ita’ah (Syiria), bay’ al amanah (Mesir). Ulama Syafiiyyah menyebutkan bay ‘uhdah dan bay ma’ad. Ulama Hanabilah menyebutkan bay amanah dan ulama Hanfiyah dikenal istilah bay jaiz. Bay’al wafa’ adalah salah satu bentuk transaksi (akad) yang muncul di Asia Tengah (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke 5 H dan merambat ke Timur Tengah, dengan tujuan menghindari terjadinya riba dalam pinjam meminjam. Pada masa itu banyak diantara orang kaa tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak juga para peminjam uang tidak mampu melunasi uangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Menurut para fukaha imbalan yang diberikan atas dasar pinjam meminjam uang ini termasuk riba.
Akad bay’ al wafa adalah akad jual beli, maka pembeli dapat dengan bebas memanfaatkan barang yang dibeli tersebut. Hanya saja pembeli tidak boleh memanfaatkan barang yang dibeli tersebut. Hanya saja, pembeli tidak boleh menjual barang tersenut kepada orang lain selain kepada penjual. Menurut ulama, jual beli ini dibolehkan karena tujuannya untuk menghindari riba. Definisi lain bay’al wafa’ adalah jual beli yang meletakkan syarat bahwa apabila penjual membayar kembali harga barang yang dijual maka pembeli akan mengembalikan barang yang dijual kepada penjual.
Bay al wafa’ sangat populer dikalangan mayoritas mazhab Hanafi. Pada hakikatnya akad ini merupakan perpaduan antara akad jual beli (bay) dengan akad gadai (rahn). Mazhab Hanafi membolehkan hukum jual beli al wafa’ dan beberapa negara telah mengakui dan memasukkannya dalam perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon, namunpara ulama Syafi’iyyah, Malikiyah dan Hanabillah tidak setuju dengan kebolehan bay al wafa’.
Bay’wafa’ dalam Majallah al Ahkam al’adliysh[13], Pasal 116 Dalam hal suatu jual beli yang tergantung pada hak penebusan kembali, maka penjual bisa mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan meminta kembali barangnya. Sama halnya pembeli bisa mengembalikan barang tersebut dan meminta uangnya kembali seharga barang itu, jika telah jatuh tempo.
Berdasarkan definisi tersebut harga pembelian kembali oleh penjual harus sama dengan harga penjualan pertama. Jika terjadi kelebihan maka jual beli tersebut tergolong jual beli al’inah yang dilarang dalam Islam.
Bay Istighlal sebenrnaya hampir sama

4.   Bank-bank syariah saat ini banyak menerapkan produk jual beli murabahah dalam pembiayaan. Banyak masyarakat umum (awam), baik kalangan intelektual, praktisi maupun masyarakat umum, yang menganggap bahwa jual beli murabahah tersebut sama saja dengan bunga. Padahal keduanya memiliki perbedaan yang jelas. Dalam perseptkif fiqh, ilmu ekonomi makro dan ekonomi mikro setidaknya ada 15 perbedaan penting antara keduanya.
a.       Perbedaan jual beli murabahah dengan bunga yang anda ketahui.
            Jawab: Jual beli murabahah jual beli yang dilakukan oleh dua belah pihak yaitu    antara pihak bank sebagai sipenjual dan nasabah sebagai pembeli. Bank menjual    barang yang telah dipesan oleh nasabah sesuai dengan keuntungan yang telah      disepakati, yaitu harga beli ditambah dengan keuntungan yang telah disepakati oleh    kedua belah pihak. Kemudian nasabah mengangsur pinjamannya dari harga jual di    tambah dengan keuntungan yang telah disepakati tersebut.
Sedangkan bunga adalah keuntungan atau fee berdasarkan persentase yang telah di      tetapkan oleh pihak bank, tanpa ada kesepakatan dengan nasabah. Berdasarkan surat      Al Baqarah ayat 275 yang artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.

b.      Mengapa pola pikir orang yang menyamakan jual beli dengan bunga sama dengan pola pikir orang musyrik dan Yahudi.? Tunjukkan ayat Alquran dan asbabun nuzul yang mengatakan itu.
             Karena jual beli dengan bunga adalah perbuatan yang sangat keji. Karena orang yang    minjamkan uang, memberi hutang kepada seseorang dengan menetapkan imbalan atau   mengambil keuntungan adalah riba. Kemudian keuntungan yang ditetapkan itu tidak   jelas sehingga menzalimi orang yang diberikan hutang karena melipat gandakan dari    hutang yang diberikan.
Ayat Al Quran tentang Jual beli bunga ini adalah Qs Albaqarah ayat 275-278. yang artinya:
Orang- orang yang memakan (mengambil) tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu adalah disebabkan karena mereka berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharmakan riba. Orang- orang yang telah sampai padanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil Riba, maka orang ini penghuni neraka dan kekal didalamnya (275) Allah memusnahkan Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(276) Sesungguhnya orang- orang yang beriman mengerjakan amal shaleh, Mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka pendapat pahala di sisi tuhannya. Tidak ada kekhaatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (277) Hai orang- orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum (dipungut)jika kamu orang- orang yang beriman.(278)

Sebab turunnya ayat  Kaum Tsaqif, penduduk kota Taif telah telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang mereka demikian juga piutang (tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan kembalinya pada pokok saja. Setelah Fathu Mekah Rasullah SAW Menunjuk ‘itab bin umar adalah seorang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani Mughirah senantiasa akan membayarkanya. Setelah kekayaan yang banyak karenanya datanglah bani Amir untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi bani Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada gubernur ‘itab ibn Usaid dan beliau menulis kepada Rasulullah SAW maka turunlah Ayat ini.






[1] Tim kashiko, kamus arab- indonesia, kashiko,2000. h. 693
[2] Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 6. H.1912
[3] Wahbah azuhaili, Fiqih islam Wa Adillatuhu  6, penerjmah: Abdul Hayyie  al- kattani, dkk, Jakarta : Gema Insani, 2011, h. 84-85
[4] Nurul Huda dan Mohamad Heykal: Lembaga kuangan Islamtinjauan Teoritis dan Praktis, Jakarta: Prenada Media Grup , 2010. H. 47
[5] Ibit, h. 176
[6] Abdullah al-Muslih, Shalah ash-Shahwi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Pengantar Adimarwan A Karim, (Jakarta : Darul Haq,2004), hlm. 304 
[7] Jurnal Iqtishadia, Fitri Anis Wardani, Kartu Kredit Syariah Dalam Tinjauan Islam, (Aceh : Universitas Darussalam, vol. 1, No. 2, 2016) Hal. 38-39
[8] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161. 
[9] Direktorat Pembiayaan Syariah, Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) Instrumen        Keuangan Berbasis Syariah (Jakarta : Departemen Keuangan Republik Indonesia-Direktorat Pembiayaan Syariah, Juni 2010), 8.
[10] Ibid
[11] Direktorat Pembiayaan Syariah, Surat Berharga Syariah Negara (Sukuk Negara) Instrumen Keuangan Berbasis Syariah, (Jakarta : Departemen Keuangan Republik Indonesia-Direktorat Pembiayaan Syariah, Juni 2010), 13.
[12]  Chandra Natadipurba, 101 Ekonomi Islam, (Bandung : PT Mobidelta Indonesia,2016), hal 249
[13] Melati Anjaswati,dkk, Tinjauan Fiqih Terhadap Pelaksanaan Sukuk Negara Ijarah Sale And Lease Back di Pasar Modal Syariah Indonesia, (Jurnal Fiqih Transaksi Keuangan Kontemporer Vol.1.No.1,2016), hal 23

Akad yang digunakan dalam transaksi keuangan di Bank syariah dan alur skema transaksi keuangan menurut praktek perbankan

Abstrak Sri Wahyuni, SE Perkembangan pasar keuangan syariah beberapa tahun terakhir cukup pesat, Walaupun pasar keuangan syaria...