Abstrak
Sri Wahyuni, SE
Perkembangan pasar
keuangan syariah beberapa tahun terakhir cukup pesat, Walaupun pasar keuangan
syariah termasuk elemen baru di indonesia. Perkembangan ini ditandai dengan
semakin banyaknya lembaga keuangan syariah dindonesia, seperti perbankan
syariah, assuransi syariah dan reksa dana syariah dan lembaga keuangan syariah
lainnya. Perkembangan pasar keuangan syariah cukup besar ditandai dengan
berdampak terhadap perekonomian masyarakat. Industri perbankan syariah sangat
memberikan kontribusi yang besar dalam perekonomian masyarakat. Lembaga
keuangan Syariah menyediakan berbagai produk keuangan untuk meningkatkan
perekonomian masyarkat dengan meng aplikasikan ketentuan- ketentuan syariah
islam, diantaranya akad kredit pembiayaan, reksa dana dan lain sebagainya.
1. Menurut buku Al-Mu’amalah al-Maliyah al-Mu’ashirah
fil Fiqh al-Islamy, tulisan Dr. Muhammad Usman Tsabir, dalam Kartu Kredit
banyak pilihan akad yang dapat digunakan, yaitu :
Pertama, akad wakalah : Wakala berasal dari kata Wazan Waka-yaliku- waklan yang
berarti menyerahkan atau mewakilkan urusan tentang wakalah adalah mewakili. [1]
Akad Wakala adalah akad mewakilkan kepada pihak lain untuk melakukan suatu
kegiatan dimana yang memberikan kuasa yang dimana yang memberi kuasa tidak
dalam posisi kegiatan tersebut.[2]
Skema akad wakala
Kedua, akad hiwalah: Al- Hiwalah secara bahasa Artinya Al- Intiaq
(pindah), di ucapkan, Hala- ‘ainil ‘ ahdi, ( berpindah, berpaling, berbalik
dari janji) sedangkan secara istilah, definisi Al hiwalah Menurut ulama
hanafiah adalah memindah ( al- Naqlu) penuntututan atau penagihan dari pihak
yang berhutang (al- Madin). kepada tanggungan pihak Al- Multazim (yang harus
membayar utang dalam hal ini adalah (Al - Muhal ‘alaihi). Berbeda dengan
kafalah artinya adalah Al dammu (menggabungkan tanggungan) di dalam penuntutan
atau tagihan, bukan An- naqlu (memindahkan) . maka oleh karena itu dengan
adanya Al- hiwalah, menurut kesepakatan ulama, pihak yang berutang (dalam hal
ini dimakut adalah al-mmuhil)tidak
ditagih lagi.[3]
Skema proses Hiwalah
Keempat akad qardh: Pemberian harta kepada orang lain yang dapat ditagih atau
di minta kembali . dalam Literatur Fiqih ash Shahih, Qard dikategorikan dalam
aqdtathawwul atau akad yang saling bantu membantu dan bukan transaksi komersial
atau dapat juga dikatakan suatu akad pembiayaan kepada nasabah tertentu bahwa
nasabah itu wajib mengembalikan dana yang diterima kepada Lembaga Keuangan
Syariah (LMS) dan nasabah.[4]
Skema pembiayaan Qard
Kelima, akad bay’ bi ajl: Bay Bittaman Ajil Adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati
anata bank islam dengan nasabah, dimana bank islam menyediakan semua dana
infestasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang kemudian
proses pembayarannya dilakukan secara menyicil atau angsuran. Jumlah kewajiban
yang dibayarkan oleh peminjam adalah atas aharga barang modal yang disepakati.
Skema Akad Bay ajl
Keenam akad ijarah: Transaksi ijarah
dilandasi dengan adanya pemindah manfaat( hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak Milik).
Pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli. Perbedaan terletak
pada objek transaksi barang, sedangkan pada ijarah objek transaksi adalah
barang atau jasa. Ijarah di definisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang
atau jasa dengan membayarkan imbalan tertentu. Menurut Fata DSN Nomor
09/DSN/MUI/VI/2000. Ijarah adalah akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau upah, tanpa
diikuti pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Dengan demikian Ijarah tidak
ada merubah kepemilikan, tetapi hanya pemindahan hak guna menyewakan kepada
penyewa.[5]
Skema akad Ijarah
Jawab :
Para ekonom dan
praktisi perbankan mengenai kartu kredit adalah bithoqah al I’timaniyah yang
merupakan terjemahan dari bahasa arab dan dalam bahasa inggris credit cards.
Definisi kartu kredit secara etimologi diambil dari kata bithaqah (kartu)
secara bahasa digunakan untuk potongan kertas kecil atau dari bahan lain, diatasnya
ditulis penjelasan yang berkaitan dengan potongan kertas itu. Sementara kata i’timan
secara bahasa artinya adalah kondisi aman dan saling percaya.
Adapun kata
cards memiliki beberapa arti diantaranya arti yang telah dikenal, yaitu credit
cards, small plastic card issued by an banking or building society, allowing
the holder to make purchase on credit. (Kartu yang terbuat dari kertas
keras, atau plastic yang diterbitkan oleh bank atau pihak lainnya disertai
penjelasan khusus kepada pemegangnya). Apabila dilihat dari sisi kredit maka
kartu ini diterbitkan untuk memperoleh uang secara tunai maupun fasilitas
pinjaman.
Secara
terminologis kartu kredit adalah suatu jenis alat pembayaran sebagai pengganti
uang tunai, yang sewaktu-waktu dapat ditukarkan. apa saja yang kita sebutkan dalam sumber lain pengertian kartu
kredit yaitu kartu yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya yang dapat
digunakan oleh pembawanya untuk membeli segala keperluan barang-barang serta
pelayanan tertentu secara hutang.[6]
Dari definisi
di atas baik secara etimologis maupun terminologis dapat diambil kesimpulan
bahwa kartu kredit adalah suatu jenis kartu yang dijadikan sebagai alat
pembayaran yang dikeluarkan oleh pihak bank dan sejenisnya dan dapat digunakan
oleh pembawanya untuk membeli segala keperlu an dan barang-barang serta
pelayanan tertentu secara hutang.
Akad-akad yang ada dalam Kartu kredit syari’ah
Penggunaan kartu kredit
yang semakin meluas memunculkan beberapa persoalan jika ditinjau menurut
pandangan fiqh Islam. Permasalahan muncul karena banyaknya pihak yang terlibat
dalam transaksi kartu kredit sehingga para fuqaha kesulitan dalam menetapkan jenis
dan berapa akad yang tepat digunakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa
transaksi kartu kredit hanya menggunakan satu akad saja, sebagian yang lain
mengatakan melibat enam akad, yaitu kafalah, wakalah, hawalah, murabahah,
qardh dan ijarah).[7]
Pihak Dewan Syariah Nasional –
Majelis Ulama Indonesia (DSN – MUI) berpendapat bahwa status hukum kartu kredit
adalah sebagai objek atau media jasa kafalah (jaminan) yang disertai talangan
pembayaran (qardh) serta jasa ijarah untuk kemudahan transaksi.
Perusahaan perbankan dalam hal ini sebagai issuer yang mengeluarkan kartu
kredit (bukti kafalah) sebagai penjamin (kafil) bagi card holders dalam
berbagai transaksi. Dengan demikian, menurut DSN – MUI ada tiga akad yang
digunakan dalam transaksi kartu kredit yaitu: kafalah, qardh dan ijarah.
Lebih lanjut, pihak DSN – MUI
menyebutkan bahwa para ulama membolehkan sistem dan praktik kafalah dalam
muamalah berdasarkan dalil al- Qur’an, Sunnah dan Ijma’ yang didasari pada
firman Allah:
dan siapa yang dapat
mengembalikannya akan memperoleh bahan makanan (seberat) beban unta, dan aku
menjamin terhadapnya.” (QS.
Yusuf:72).
Kafalah pada dasarnya adalah akad
tabarru’ (sukarela/voluntary) yangbernilai ibadah bagi penjamin karena
termasuk kerja sama dalam kebajikan (ta’awun ‘alal birri), dan penjamin
berhak meminta gantinya kembali kepada terutang, sepantasnyalah ia tidak
meminta upah atas jasanya tersebut, agar aman/jauh dari syubhat. Akan tetapi
hal itu sah-sah saja kalau terutang sendiri yang memberinya sebagai hadiah atau
hibah sebagai ungkapan rasa terimakasihnya. Namun demikian, jika penjamin
sendiri yang mensyaratkan imbalan asa (semacam uang iuran administrasi kartu
kredit dan sebagainya) tersebut dan tidak mau menjamin dengan sukarela, maka
dibolehkan bagi pengguna jasa jaminan memenuhi tuntutan tersebut bila
diperlukan seperti kebutuhan yang lazim dalam perjalanan studi, transaksi
bisnis, kegiatan sosial, urusan pribadi dan sebagainya. Penetapan uang jasa
kafalah tidak boleh terlalu mahal sehingga memberatkan pihak terutang atau
terlalu besar melebihi batas rasional, agar terjaga tujuan asal dari kafalah,
yaitu jasa pertolongan berupa jaminan utang kepada merchant, penjual
barang atau jasa yang menerima pembayaran dengan kartu kredit tertentu.[8]
a.
Proses
dan mekanisme operasional penerapan akad-akad tersebut.
Proses pemberiaan pembiayaan take over yang beralu
saat ini menurut Rahmat Wahyudi Hidayat lebih cenderung ada unsur persaingan
terhadap bank dalam pemberian kredit dengan atau tanpa memperhatikan kualitas
kredit dari bank sebelumnya. Pemberian pembiayaan melalui mekanisme take over
oleh perbankan syariah terhadap nasabah umumnya karena faktor prinsip idealisme
kesyariahnya dalam bertransaksi sehingga nasabah umumnya karena faktor prinsip
idealisme kesyariahan dalam bertransaksi, sehingga nasabah memutuskan untuk
memindahkan kreditnya di bank konvensional ke bank syariah. Proses pemberian
pembiayaan melalui mekanisme take over ini mengunakan akad-akad yang sesuai
dengan prinsip-prinsip syariah. Melalui fatwa-fatwa DSN-MUI telah ditetapkan
fatwa mengenai pengalihan Hutang (Take over) tertuang dalam fatwa DSN-MUI No :
31/DSN-MUI/VI/2002. Didalam fatwa tersebut terdapat 4 alternatif akad yang
digunakan oleh bank syariah yang untuk melakukan akad pembiayaan take over dan
keempat alternatif tersebut adalah :
Alternatif 1 : Akad Qardh Bai’wal Murabahah :
a.
Bank
Syariah memberikan qardh sesuai fatwa DSN-Mui No. 19/DSN-MUI/vI/2001. Dengan
qardh tersebut nasabah melunasi kredit hutangnya. Maka aset yang dibeli dengan
kredit tersebut menjadi milik nasabah secara penuh.
b.
Nasabah
menjual aset tersebut kepada bank syariah dengan hasil penjualan itu nasabah
melunasi qarh ke pada banknya.
c.
Bank
Syariah kemudian menjual aset secara murabahah aset yang telah menjadi miliknya
tersebut dengan pembayaraan secara cicilan.
Alternatif 1 ini hampir mirip dengan bay al’inah,
inah secara bahasa adalah pinjaman yaitu membeli sesuatu secara berhutang. Lalu
menjualnya kembali dengan harga yang lebih murah, jual beli disebut al’ inah. Kareana seseorang
sebenarnya bukan mengiginkan barang, yang diinginan adalah uang (Pinjaman).
Sedangkan menjadi mediatornya adalah ‘ ain (Barang). Jual beli ini adalah suatu
helah dan rekayasa untuk mendapatkan pinjaman uang untuk pembayaraan tambahan. Akad Qardh adalah transaksi non-commersial
yaitu pinjaman (Loan) Akad Ba’i adalah jual beli berdasarkan cara mengambil
keuntungan (margin) Akad Murabahah adalah akad jual beli dimana ketika penjual
menjual barang, ia boleh mengambil keuntungan dengan syarat harus transparan
berapa pokok dan margin yang diambil dan berdasarkan kesepakatan. ketiga akad
ini bila di hubungkan, yaitu nasabah punya hutang ke bank konvensional, dan
hutang tersebut di take over oleh bank syariah dengan membayarkan KPR ke bank konvensional,
disini terjadi akad Qardh (yaitu Nasabah berhutang sejumlah harga KPR yang
dibayarkan ke bank konvensional). Saat hutang di take over, maka KPR jadi milik
Bank Syariah dan kemudian Bank syariah menjual kepada nasabah, disini terjadi
akad Ba’i (jual beli) secara Murabahah, dengan keuntungan yang telah disepakati
bersama.
Alternatif 2 : Terjadi Akad qardh yaitu saat bank melunasi
a.
Dalam
pengurusan untuk memperoleh kepemilikan penuh aset tetap, nasabah dapat
melakukan akad ijarah dengan bank syariah, sesuai dengan fatwa DSN-MUI No.9
/DSN-MUI/IV/2002.
b.
Apabila
diperlukan BankSyariah dapat membantu menalangi kewajiban nasabah dengan
mengunakan prinsip qarh.
c.
Akad
ijarah sebagaimana dimaksud poin a tidak boleh didasarkan jumlah talangan yang
diberikan bank syariah kepada nasabah sebagaimana dimaksud poin b
Alternatif ini berbahaya karena mendekati riba, agar
tidak termaksud dengan riba, dengan kedua akad yaitu qarh dan ijarah harus
terpisah. Karena ada imbalan jasa ijarah, maka besarnya fee tidak boleh
didasarkan pada besar nya fee tidak boleh didasarkan pada besar qarh.
Alternatif ini mendekati riba karena ditakutkan besaran fee tidak boleh
didasarkan pada besar qarh, alternatif ini mendekati riba dikarenakan ditakuti
besaran fee untuk imbalan jasa ijarah berdasarkan besar dana qardh yang
diterima nasabah. Secara etimilogi ijarah berati sewa upah, jasa, imbalan,
secara istilah syariah. Ulama Hanafi mendefinisikan ijarah sebagai transaksi
terhadap suatu manfaat dengan suatu imbalan fee penukar manfaat .Ijarah
didefinisikan sebagai akad pemindahan hak atas barang atau jasa terhadap
pembayaran upah, sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (mikiyah)
atas barang itu sendiri, sedangkan dalam fatwa DSN-MUI no 09 /DSN-MUI/VI/2002,
ijarah didefinisikan sebagai akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu
barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah tanpa
diikuti oleh pemindahan pembayaran BPR itu sendiri adapun dalil tentang akad
Ijarah Adalah (Al – Baqarah : 233)
Alternatif ke 3 : Akad Qardh, bay’ dan IMBT (Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik) adalah
a.
Bank
memberikan qardh kepada nasabah, pada qarh tersebut nasabah melunasi kredit
(hutang)nya maka aset yang dibeli dengan kredit tersebut menjadi milik nasabah
secara penuh.
b.
Nasabah
menjual aset sebagaimana dimaksud dipoin a kepada bank syariah, dengan hasil
penjualan itu nasabah melunasi qarhnya kepada bank.
c.
Bank
syariah menyewakan aset yang telah menjadi miliknya tersebut kepada nasabah
dengan akad ijarah Muntahiyah bit tamlik.
Alternatif ini menurut saya alternatif ini akan aman,
disebut juga akad ijarah yang berakhir dengan pemilikan aset . Pemindahan
kepemilikan Asset dalam akad IMBT dilakukan melalui hibah atau hadiah serta
dilakukan dengan cara membeli dengan harga yang sesuai dengan sisa cicilan sewa
diakhir masa sewa. Fatwa DSN-MUI di formulasikan adalah Jika penyewa (pihak
Kedua) Telah menyelesaikan pembayaran ansuran terakhir sewa aset tersebut maka
pihak pertama (Muajjir) Menghibahkan asset tersebut kepada pihak kedua (Penyewa),
hibah ini bersifat Mu’allaq pada massa yang akan datang. Hukumnya boleh menurut
ketentuan Fiqh islam. Alternatif menjual diakhir massa sewa biasanya digunakan
bila kemampuan financial musta’jir untuk membayar sewa relatif kecil, sehinga
akumulasi sewa yang sudah dibayar pada akhir periode sewa belum mencukupi harga
beli barang tersebut, dan margin keuntungan yang diharapkan bank, maka jika
penyewa ingin memiliki barang tersebut ia harus membeli barang tersebut diakhir
periode, dalam kontrak ini, juga tidak perlu di buat kontrak baru diakhir massa
sewa, cukup satu akad diawal kontrak kerja.
Alternatif 4 : Akad hiwalah
Akad yang menjelaskan berupa pengalihan hutang
debitur kepada bank syariah dari salah satu bank konvensional yang sebelumnya
membiayaai KPR debitur. Jumlah yang tertera di akad hiwalah sesuai dengan sisa
jumlah kewajiban debitur yang harus dilunasi di bank sebelumnya. Jumlah ini
dijelaskan nilai hutang yang diambil alih oleh Bank Syariah dari bank
sebelumnya. Hawalah adalah Pemindahan hutang dari satu pihak kepada pihak
ketiga. Disini nasabah sebagai pihak pertama yang berhutang pada pihak kedua
bank (konvensional), dan bank syariah sabagai pihak ketiga. Dengan kata lain
hutang nasabah kepada bank konvensional akan dilunasi oleh bank syariah sehingga
nasabah sekarang berhutang kepada bank syariah.
Fatwa DSM-MUI adalah :
a. Hawalah bil ujrah (fee) hanya berlaku pada hawalah
muthlaqalah (yaitu hawalah dimana muhil adalah orang yang berutang tetapi tidak
berpiutang kepada muhal ‘ alaliah ).
b. Dalam Hawalah Muthlaqah, Muhal’alaih boleh menerima
ujrah /fee atas ketersediaan dan komitmen untuk membayar hutang muhil.
c. Besarnya fee tersebut harus ditetapkan pada saat akad
secara jelas, tetap dan pasti sesuai kesepakatan para pihak.
d. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para
pihak untuk menujukan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (Akad)
e. Akad dituangkan secara tertulis melalui respondensi
atau mengunakan cara-cara komunikasi modern.
f. Hawalah harus dilakukan atas dasar kerelaan dari para
pihak terkait.
g. Kedudukan dan Kewajiban para pihak harus dinyatakan
dalam akad secara tegas.
h. Bank syariah yang melakukan akad hawalah bil ujrah
boleh memberikan sebagian fee hawalah kepada shahibul maal.
b. Analisislah keenam alternatif akad-akad di atas dalam
perspektif syariah, tentukan mana yang lebih tinggi tingkat kesyariahannya.
Gunakan dalil-dalil syariah dan ushul fiqh dalam menganalisis alternatif
akad-akad tersebut.
Dalam pembiayaan take over banyak
sekali alternative hybrid contract di dalamnya berdasarkan fatwa DSN
MUI No 31/2002. Antara lain, gabungan akad qardh, bay’ dan Ijarah Muntahiyah
bit Tamlik (IMBT) atau murabahah. Jika menggunakan akad murabahah, mirip dengan
bay’ al-‘inah, maka seharusnya dihindari. Akad bay’ dalam pembiyaan take over
dapat dilakukan di bawah tangan (secara fikih saja, tanpa notaris), karena
hanya sebagai bridging of financing. Peran notaries
hanyalah ketika akad murabahah berlangsung.
c. Jika anda sebagai konsultan atau officer bank syariah
akad mana yang anda pilih / rekomendasikan dan mengapa ada memilihnya.
Pembiayaan
berdasarkan take over adalah satu bentuk pelayanan bank syariah dalam membantu
masyarakat mengalihkan transaksi non syariah yang telah berjalan menjadi
transaksi yang sesuai dengan syariah berdasarkan permintaan nasabah. Dalam hal
ini bank syariah mengambil alih hutang nasabah di bank konvensional dengan cara
memberikan jasa hiwalah atau menggunakan qard yang disesuaikan dengan ada
tidaknya unsur bunga dalam hutang nasabah kepada bank konvensional.
Dengan
melakukan take over/pemindahan kredit dari bank konvensional ke bank syariah,
maka nasabah akan terhindar dari resiko fluktuansi bunga dan resiko ketidak
pastian. Hal tersebut dikarenakan di bank syariah harga jual sudah
ditentukan/disepakati diawal masa pembiyaan, tidak berubah sampai dengan
selesainya masa pembiayaan dengan angsuran yang fixed/tetap setiap bulannya.
Namun
sebaiknya sebagai Officer bank hendaklah menggunakan Akad Qardh, bay’ dan IMBT (Ijarah Muntahiyah bit
Tamlik) dimana Jika penyewa (pihak Kedua) Telah menyelesaikan pembayaran
ansuran terakhir sewa aset tersebut maka pihak pertama (Muajjir) Menghibahkan
asset tersebut kepada pihak kedua (Penyewa), hibah ini bersifat Mu’allaq pada
massa yang akan datang. Hukumnya boleh menurut ketentuan Fiqh islam. Walaupun
kebanyakan dari Bank syariah memakai prinsip Akad qardh yang pada akhirnya sama
yaitu menghibahkan asset tersebut kepada pihak kedua setelah tercapainya tujuan
dan ketentuan yang telah di sepakati dalam akad Qard.
2. Para ulama Fiqh membagi (mengklasifikasi) bay’ amanah kepada
empat macam, yaitu bay’ tauliyah, bay’ murabahah, bay’ mustarsal dan bay’
wadhi’ah (bay’ khasarah). Hampir semua bank-bank Islam saat ini menggunakan
bay’ murabahah. Padahal bank-bank Islam sangat mungkin juga menggunakan bay’
mustarsal. Pengertian dari 4 macam klasifikasi dari para ulama fiqh adalah:
Bay’tauliyah
Tauliyah secara bahasa berasal dari kata: walla, yang artinya
memberi wewenang. Tauliyah berarti memberi wewenang kepada orang lain untuk
memiliki atau menggunakan suatu barang. Secara istilah, jual beli Tauliyah
adalah seseorang menjual barang kepada orang lain dengan harga yang sama dengan
harga belinya, dan penjual menyampaikan harga belinya kepada pembeli.
Contoh: A membeli motor dengan harga 6 jt. A memberi tahu B
bahwa dia membeli motor tersebut seharga 6 jt. Dia tawarkan motornya kepada B
dengan harga yang sama, tanpa mengambil keuntungan sedikitpun.
Transaksi ini dimasukkan dalam bai` amanah karena dalam
transaksi ini, penjual menyampaikan harga belinya. Hal ini menuntut adanya
amanah dari penjual tentang kebenaran informasi yang dia sampaikan. Mengenai
hukum dan syarat selengkapnya, bisa dipelajari di pembahasan Tauliyah.
Bay’murabahah
Murabahah diambil dari kata: Ribh, yang artinya untung.
Secara istilah bai` Murabahah adalah menjual barang dengan harga kulakan
ditambah keuntungan yang disepakati antara kedua belah pihak.
Contoh: A membeli
rumah dengan harga 1 M. Datang B mau membeli rumah tersebut. Si A memberi tahu
harga dia membeli rumah (1 M) dan bersedia dijual kepada B, jika si B mau
memberi keuntungan 10 jt. Setelah sepakat, keduanya bertransaksi.
Para ulama menegaskan bolehnya transaksi murabahah. Namun
ulama mazhab malikiyah berpendapat bahwa jual beli ini kurang afdhal. Yang
lebih baik adalah tidak disebutkan harga kulakan dan untungnya.
Transaksi murabahah dimasukkan dalam jual beli amanah,
karena penjual menyampaikan harga beli (kulakan) barang tersebut. Sehingga
penjual dituntut untuk amanah dalam memberikan informasi tentang harga belinya.
Mengenai macam-macamnya, syaratnya, dan rincian hukumnya, akan dibahas
tersendiri dalam tema: Murabahah.
Bay’mustarsal
Mustarsal artinya dilepas. Sedangkan maksud jual beli mustarsal
adalah seseorang penjual mengatakan kepada pembeli: Saya jual barang ini dengan
harga pasar atau sebagaimana harga umumnya masyarakat atau dengan harga yang
berlaku hari ini atau dengan harga sebagaimana yang akan ditentukan oleh si
fulan, dst. Orang yang melakukan transaksi ini tidak mengetahui harga barang
dan tidak bisa saling tawar menawar. Para ulama sepakat bahwa jual beli ini
sah. Hanya saja mereka berselisih pendapat, apakah pembeli dan penjual memiliki
hak khiyar ataukah tidak.
Bay’wadhi’ah
Wadhi`ah secara bahasa artinya kerugian. Bisa juga digunakan untuk menamakan pajak yang diambil oleh pemerintah. Secara istilah, wadhi`ah berarti menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari pada harga beli dan pembeli diberi tahu tentang harga belinya. Sehingga sistem jual beli ini merupakan kebalikan dari jual beli murabahah.
Wadhi`ah secara bahasa artinya kerugian. Bisa juga digunakan untuk menamakan pajak yang diambil oleh pemerintah. Secara istilah, wadhi`ah berarti menjual barang dengan harga yang lebih rendah dari pada harga beli dan pembeli diberi tahu tentang harga belinya. Sehingga sistem jual beli ini merupakan kebalikan dari jual beli murabahah.
Jual beli wadhi`ah sering juga dinamakan
dengan jual beli muhathah, hathitah, mukhasarah, dan muwadha`ah.
Contoh: A membeli motor seharga 10 jt. Dia memberi tahu B
tentang hal ini. Dia tawarkan motornya kepada B dengan harga 8 jt. Sehingga A
menanggung kerugian 2 jt.
a. Perbedaan bay murabahah dengan bay
mustarsal
Bay murabahah adalah jual beli
barang pda harga asal dengan tembahan keuntungan yanng disepakati. Dalam
istilah teknis perbankan syari’ah murabahah ini diartikan sebagai suatu
perjanjian yang disepakati antara Bank Syariah dengan nasabah, dimana Bank menyediakan
pembiayaan untuk pembelian bahan baku atau modal kerja lainnya yang dibutuhkan
nasabah, yang akan dibayar kembali oleh nasabah sebesar harga jual bank (harga
beli bank + margin keuntungan) pada waktu yang ditetapkan. Sedangkan Bay
mustarsal adalah melakukan transaksi jual beli secara langsung kepada seseorang
sesui dengan harga pasar yang berlaku umum.
b. Berikan alasan mengapa bay mustarsal ini dalam
banyak kasus lebih dipilih daripada bay’ murabahah
Karena masyarkat lebih cenderung menggunakan Bay
mustarsal ini lebih simpel sesuai dengan kebiasaan sehari- hari.Kemudian
penjual tidak perlu menyebutkan berapa harga beli(hargaperolehan/ pokok) suatu
barang kepada pembeli. Penjual langsung menjual barang tersebut kepada
sipembeli sesuai dengan harga pasar atau harga yang diketahui umum (harga yang
berlaku di pasaran) Kemudian menggunakan Bay murabahah cenderung lebih ribet
karena penjual harus memeritahukan berapa harga beli/ harga perolehan suatu
barang yang akan dia jual kepada pembeli, dan kedua belah pihak harus
menentukan keuntungan yang akan di peroleh sesuai dengan kesepakatan kedua
belah pihak.
3.
Saat ini negara-negara
muslim dan perusahaan-perusahaan syariah banyak yang menerbitkan sukuk
(obligasi syariah). Salah satu bentuk sukuk adalah sukuk Ijarah.
Dalam SBSN yang diterbitkan pemerintah, dalam sukuk ijarah, akad yang
digunakan adalah akad sale and lease back, yaitu jual dan sewa kembali.
Padahal akad tersebut seharusnya sale, and lease and sale back.
Sale back adalah akad ketiga yang mesti terjadi (maushufah biz
zimmah) sebagai konsekunensi dari baywafa, sehingga asset negara tidak akan
tergadaikan. Menurut Kitab Undang-Undang Ekonomi Islam Turki Usmani (1876 M) ,
yakni Al-Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah pasal 119, bahwa akad sukuk yang
terdiri dari 3 akad tersebut dinamakan bay’ istighlal.
a. Jelaskan proses, flow dan mekanisme operasional sukuk ijarah pada
SBSN yang ada saat ini di Indonesia
Sukuk adalah istilah
yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk jamak dari kata Sakk’ yang
berarti dokumen atau sertifikat[9], namun sejumlah penulis barat tentang sejarah
perdagangan Islam / Arab abad pertengahan memberikan kesimpulan bahwa kata Sakk
merupakan kata dari suara Latin “cheque” atau “check” yang biasanya digunakan
pada perbankan kontemporer[10].
Istilah sakk bermula dari
tindakan membubuhkan cap tangan oleh seseorang atas suatu dokumen yang
mewakili suatu kontrak pembentukan hak, obligasi, dan uang. Dalam konsep
modern disebutkan sebagai pengamanan pembiayaan yang memberikan hak atas
kekayaan dan tanggungan serta bentuk-bentuk hak milik lainnya.
Sukuk ijarah
(obligasi ijarah) adalah obligasi syari’ah yang menggunakan akad ijarah.
Ijarah adalah perikatan sewa menyewa yang memberikan hak kepada muaajir
(yang menyewakan) menerima upah dari mustajir (penyewa) atas manfaat
yang diperolehnya. Artinya pihak yang menyewakan memberikan hak kepada pihak
lain untuk memanfaatkan obyek yang disewakankan, namun dengan kewajiban penyewa
harus memberikan imbalan sesuai dengan hasil
kesepakatan.
Dalam akad ijarah, pada prinsipnya terjadi
pemindahan manfaat yang bersifat sementara, namun tidak disertai adanya
pemindahan kepemilikan. Berdasarkan fatwa No.41/DSN-MUI/III/2004, ketentuan
obligasi syari’ah ijarah sebagai
berikut:
a) Akad yang digunakan dalam obligasi syari’ah ijarah adalah ijarah
dengan memperhatikan substansi fatwa DSN-MUI
No.9/DSN-MUI/IV/2000 tentang pembiayaan ijarah, terutama
mengenai rukun dan syarat akad.
b) Sesuai yang menjadi obyek ijarah harus berupa
manfaat yang diperbolehkan.
c) Jenis usaha yang dilakukan emiten tidak boleh bertentangan dengan syari’ah dengan memperhatikan substansi fatwa
DSN-MUI No.20/DSNMUI/IX/2000 tentang pedoman pelaksanaan investasi
untuk reksadana syari’ah dan No.40/DSN- MUI/X/2003 tentang pasar modal dan
pedoman umum penerapan prinsip syari’ah dibidang pasar modal .
d) Emiten dalam kedudukannya sebagai penerbit obligasi dapat mengeluarkan OSI baik asset yang telah ada maupun asset
yang akan diadakan untuk disewakan.
e) Pemegang OSI
sebagai pemilik asset (a’yan) atau manfaat (manafi’) dalam menyewakan (ijarah) asset atau
manfaat yang menjadi haknya kepada pihak lain dilakukan melalui emiten sebagai wakil .
f) Emiten yang bertindak sebagai wakil dari pemegang OSI dapat menyewa untuk dirinya sendiri atau menyewakan kepada
pihak lain.
g) Dalam hal emiten bertindak sebagai penyewa untuk dirinya sendiri, maka
emiten wajib membayar sewa dalam jumlah dan
waktu yang disepakati sebagai imbalan (iwadh ma’lum) sebagai mana jika
penyewaan dilakukan kepada pihak lain.
h) Pengawasan aspek syari’ah dilakukan oleh DSN atau tim ahli syari’ah yang ditunjuk oleh DSN-MUI, sejak proses
emisi obligasi syari’ah ijarah
dimulai .
i) Kepemilikan obligasi syari’ah ijarah dapat dialihkan kepada pihak
lain, selama disepakati dalam akad.
Secara teknis,
obligasi syari’ah ijarah dapat dilakukan dengan dua cara:
a) Emiten dapat
bertindak sebagai wakil investor yang berkedudukan sebagai penyewa (musta’jir), sedangkan property
owner (pemilik properti) sebagai pihak yang menyewakan (mu’ji r).
b) Setelah investor memperoleh
hak sewa, maka investor menyewakan kembali obyek sewa kepada emiten.
Ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang dan jasa, tanpa
diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang atas jasa. Sukuk ijarah
diterbitkan berdasarkan akad ijarah, diklasifikasikan menjadi sukuk kepemilikan
asset berwujud yang disewakan, sukuk kepemilikan manfaat, sukuk kepemilikan
jasa. Sukuk kepemilikan asset berwujud yang disewakan, diterbitkan oleh pemilik
asset yang disewakan atau yang akan disewakan dengan tujuan untuk menjual asset
demi memperoleh dana, sehingga pemegang sukuk menjadi pemilik asset. Sedangkan
tujuan penerbitan sukuk kepemilikan manfaat, yaitu menyewakan asset / manfaat
asset demi uang sewa, pemegang sukuk menjadi pemilik manfaat dari asset.
Penerbitan sukuk kepemilikan jasa bertujuan menyediakan jasa melalui penyedia
jasa dan mendapatkan fee, sehingga pemegang sukuk menjadi pemilik jasa[11].
Skema sukuk Ijarah
b. Jelaskan dan analisis-lah mengapa penamaan sale and lease back kurang tepat untuk sukuk ijarah.
Sale and lease back teknik jual dan sewa kembali. Suatu aset dapat di beli kepada suatu pihak dan disewakan kembali kepada pihak tersebut. Dalam kasus ini kontrak ijarah tidak diputuskan kecuali lembaga keuangan syariah telah memiliki aset trsebut. Aset- aset yabg disewakan dengan teknik ini dapat dijual kembali pada pemilik pertama.
Dilihat dari mekanisme pelaksanaan Sukuk Negara Ijarah
Sale and Lease Back di atas terdapat beberapa kritik atau perdebatan tentang
kebolehannya, diantaranya kritik atas kerumitan mekanisme
sukuk ijarah yang memungkinkan adanya celah
atau dosa atau pelanggaran yang disampaikan oleh Chandra Natadiputra dalam
bukunya yang berjudul 101 Ekonomi Islam. Kritiknya ini berdasarkan salah satu
kaidah fiqih yang berbunyi[12]
: “Yang dapat dijadikan pegangan akad adalah maksud dan makna, bukan lafadz dan
bentuk perkataan”.
Secara
filosofis sesuatu yang rumit sebenarnay sederhana sesuatu yang sederhana dibuat
rumit biasanya mengandung cela atau dosa atau pelanggaran. Obligasi ini tujuan
sebenarnya secara sederhana adalah pemerintah meminjam dana masyarakat, nanti
sekian tahun lagi dana itu dikembalikan ke masyarakat, plus bunganya. Karena
komponene bunga itu tidak boleh didalam ekonomi islam.
Selain kritikan tersebut, dalam struktur sukuk ijarah sale and
lease back ini masih menjadi isu penting yang sering dibahas oleh pakar ekonomi
syariah karena dianggap tidak sesuai dengan prinsip syariah, karena hal ini
merupakan bentuk lain daripada bai’ al wafa atau hampir sama dengan jenis
bai’istighlal dan bai’ al ‘inah yang masih diperdebatkan kebolehannya oleh para
ulama fiqh.
Berdasarkan kepada kumpulan fatwa dari majma’fiqh Islami (Markas
Riset Fiqh Islam) yang berpusat di Jeddah yang dikeluarkan pada tahun 1992M
menyatakan bahwa mayoritas ulama tidak membolehkan jual beli dalam bentuk ini,
Sedangkan minoritas ulama membolehkannya, sehingga hasil keputusan akhir dari
sidang fatwa tersebut memutuskan tidak boleh bermuamalah dengan bentuk jual
seperti ini. Adapaun pokok masalah yang diperdebatkan tentang kebolehan jual
beli jenis ini karena dalam kontrak ijarah sale and lease back berlaku dimana
aset yang telah dijual oleh pemiliknya kemudian disewakan kembali kepada
penjual tersebut, sehingga jenis ini dianggap menyerupai salah satu bentuk
bai’al’inah yang dilarang dalam hadits Rasulullah,Saw dimana penjual dan
pemberi sewa membuat syarat sebelum terjadi akad dengan janji pembelian kembali
aset pada harga yang di setujui oleh penjual asal.
c.
Pengertian konsep
bay’ istighlal menurut Al-Majallah al-Ahkam al-‘Adliyah dan bagaimana
penerapannya dalam SBSN (Surat Berharga Syariah Negara).Gunakan kata kunci bay’
wafa dalam menganalisis.
Menurut bahasa Arab, al bay’ berati jual beli, dan al
wafa’ dapat diartikan membayar hutang, pelunasan hutang, menepati janji, setia
serta tak menyalahi janji. Nama lain dari bay’ al wafa’ adalah bay ‘ita’ah
(Syiria), bay’ al amanah (Mesir). Ulama Syafiiyyah menyebutkan bay ‘uhdah dan
bay ma’ad. Ulama Hanabilah menyebutkan bay amanah dan ulama Hanfiyah dikenal
istilah bay jaiz. Bay’al wafa’ adalah salah satu bentuk transaksi (akad) yang
muncul di Asia Tengah (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke 5 H dan
merambat ke Timur Tengah, dengan tujuan menghindari terjadinya riba dalam
pinjam meminjam. Pada masa itu banyak diantara orang kaa tidak mau meminjamkan
uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara banyak juga para
peminjam uang tidak mampu melunasi uangnya akibat imbalan yang harus mereka
bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Menurut para fukaha
imbalan yang diberikan atas dasar pinjam meminjam uang ini termasuk riba.
Akad bay’ al wafa adalah akad jual beli, maka pembeli dapat dengan bebas
memanfaatkan barang yang dibeli tersebut. Hanya saja pembeli tidak boleh memanfaatkan
barang yang dibeli tersebut. Hanya saja, pembeli tidak boleh menjual barang
tersenut kepada orang lain selain kepada penjual. Menurut ulama, jual beli ini
dibolehkan karena tujuannya untuk menghindari riba. Definisi lain bay’al wafa’
adalah jual beli yang meletakkan syarat bahwa apabila penjual membayar kembali
harga barang yang dijual maka pembeli akan mengembalikan barang yang dijual
kepada penjual.
Bay al wafa’ sangat populer dikalangan mayoritas mazhab
Hanafi. Pada hakikatnya akad ini merupakan perpaduan antara akad jual beli
(bay) dengan akad gadai (rahn). Mazhab Hanafi membolehkan hukum jual beli al
wafa’ dan beberapa negara telah mengakui dan memasukkannya dalam
perundang-undangan perdata, seperti Turki Usmani dan Lebanon, namunpara ulama
Syafi’iyyah, Malikiyah dan Hanabillah tidak setuju dengan kebolehan bay al
wafa’.
Bay’wafa’ dalam Majallah al Ahkam al’adliysh[13],
Pasal 116 Dalam hal suatu jual beli yang tergantung pada hak penebusan kembali,
maka penjual bisa mengembalikan uang seharga barang yang dijual dan meminta
kembali barangnya. Sama halnya pembeli bisa mengembalikan barang tersebut dan
meminta uangnya kembali seharga barang itu, jika telah jatuh tempo.
Berdasarkan definisi tersebut harga pembelian kembali
oleh penjual harus sama dengan harga penjualan pertama. Jika terjadi kelebihan
maka jual beli tersebut tergolong jual beli al’inah yang dilarang dalam Islam.
Bay Istighlal sebenrnaya hampir sama
4.
Bank-bank syariah saat
ini banyak menerapkan produk jual beli murabahah dalam pembiayaan. Banyak
masyarakat umum (awam), baik kalangan intelektual, praktisi maupun masyarakat
umum, yang menganggap bahwa jual beli murabahah tersebut sama saja dengan
bunga. Padahal keduanya memiliki perbedaan yang jelas. Dalam perseptkif fiqh,
ilmu ekonomi makro dan ekonomi mikro setidaknya ada 15 perbedaan penting antara
keduanya.
a.
Perbedaan jual beli
murabahah dengan bunga yang anda ketahui.
Jawab: Jual beli
murabahah jual beli yang dilakukan oleh dua belah pihak yaitu antara pihak bank sebagai sipenjual dan
nasabah sebagai pembeli. Bank menjual barang
yang telah dipesan oleh nasabah sesuai dengan keuntungan yang telah disepakati, yaitu harga beli ditambah dengan
keuntungan yang telah disepakati oleh kedua
belah pihak. Kemudian nasabah mengangsur pinjamannya dari harga jual di tambah dengan keuntungan yang telah
disepakati tersebut.
Sedangkan
bunga adalah keuntungan atau fee berdasarkan persentase yang telah di tetapkan oleh pihak bank, tanpa ada
kesepakatan dengan nasabah. Berdasarkan surat Al
Baqarah ayat 275 yang artinya: Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.
b.
Mengapa pola pikir orang
yang menyamakan jual beli dengan bunga sama dengan pola pikir orang musyrik dan
Yahudi.? Tunjukkan ayat Alquran dan asbabun nuzul yang mengatakan itu.
Karena jual
beli dengan bunga adalah perbuatan yang sangat keji. Karena orang yang minjamkan uang, memberi hutang kepada
seseorang dengan menetapkan imbalan atau mengambil
keuntungan adalah riba. Kemudian keuntungan yang ditetapkan itu tidak jelas sehingga menzalimi orang yang diberikan
hutang karena melipat gandakan dari hutang
yang diberikan.
Ayat Al Quran tentang Jual beli bunga ini adalah Qs Albaqarah ayat
275-278. yang artinya:
Orang- orang yang memakan (mengambil) tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka demikian itu adalah disebabkan karena mereka
berkata (berpendapat) sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharmakan riba. Orang- orang yang
telah sampai padanya larangan dari Tuhannya, lalu berhenti (dari mengambil
riba), Maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan);
dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil Riba,
maka orang ini penghuni neraka dan kekal didalamnya (275) Allah memusnahkan
Riba dan menyuburkan sedekah. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang tetap
dalam kekafiran, dan selalu berbuat dosa.(276) Sesungguhnya orang- orang yang
beriman mengerjakan amal shaleh, Mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat,
mereka pendapat pahala di sisi tuhannya. Tidak ada kekhaatiran terhadap mereka
dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (277) Hai orang- orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dan tinggalkanlah sisa riba yang belum (dipungut)jika
kamu orang- orang yang beriman.(278)
Sebab
turunnya ayat Kaum Tsaqif, penduduk kota
Taif telah telah membuat kesepakatan dengan Rasulullah SAW bahwa semua hutang
mereka demikian juga piutang (tagihan) yang berdasarkan riba agar dibekukan dan
kembalinya pada pokok saja. Setelah Fathu Mekah Rasullah SAW Menunjuk ‘itab bin
umar adalah seorang yang biasa meminjamkan uang secara riba kepada Bani
Mughirah senantiasa akan membayarkanya. Setelah kekayaan yang banyak karenanya
datanglah bani Amir untuk menagih hutang dengan tambahan riba, tetapi bani
Mughirah menolak. Maka diangkatlah masalah itu kepada gubernur ‘itab ibn Usaid
dan beliau menulis kepada Rasulullah SAW maka turunlah Ayat ini.
[1] Tim kashiko, kamus arab- indonesia, kashiko,2000. h. 693
[2] Abdul Aziz Dahlan, dkk, Ensiklopedia Hukum Islam, Jilid 6. H.1912
[3] Wahbah azuhaili, Fiqih islam Wa Adillatuhu 6, penerjmah: Abdul Hayyie al- kattani, dkk, Jakarta : Gema Insani,
2011, h. 84-85
[4] Nurul Huda dan Mohamad Heykal: Lembaga kuangan Islamtinjauan Teoritis
dan Praktis, Jakarta: Prenada Media Grup , 2010. H. 47
[5] Ibit, h. 176
[6] Abdullah
al-Muslih, Shalah ash-Shahwi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Pengantar
Adimarwan A Karim, (Jakarta : Darul Haq,2004), hlm. 304
[7] Jurnal
Iqtishadia, Fitri Anis Wardani, Kartu Kredit Syariah Dalam Tinjauan Islam,
(Aceh : Universitas Darussalam, vol. 1, No. 2, 2016) Hal. 38-39
[8] Wahbah
az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, vol. V/130-161.
[9] Direktorat
Pembiayaan Syariah, Surat Berharga
Syariah Negara (Sukuk Negara) Instrumen Keuangan
Berbasis Syariah (Jakarta : Departemen Keuangan Republik
Indonesia-Direktorat Pembiayaan Syariah, Juni 2010), 8.
[10] Ibid
[11] Direktorat
Pembiayaan Syariah, Surat Berharga
Syariah Negara (Sukuk Negara) Instrumen Keuangan Berbasis Syariah, (Jakarta : Departemen Keuangan Republik
Indonesia-Direktorat Pembiayaan Syariah, Juni 2010), 13.
[13] Melati Anjaswati,dkk, Tinjauan Fiqih Terhadap Pelaksanaan Sukuk Negara
Ijarah Sale And Lease Back di Pasar Modal Syariah Indonesia, (Jurnal Fiqih
Transaksi Keuangan Kontemporer Vol.1.No.1,2016), hal 23
No comments:
Post a Comment